Apoteker adalah orang yang berperan penting untuk memberikan obat kepada pasien. Mereka bertugas mengawasi resep obat dari dokter, meracik obat, serta mengawasi segala obat yang masuk ke dalam rumah sakit, puskesmas, klinik dan pusat layanan kesehatan sejenis.
Ada banyak apoteker yang akhirnya memiliki apotek dan mendirikan usaha untuk menjual obat. Selain bekerja untuk tenaga medis dan pelayanan orang-orang sakit, ada pula apoteker yang bertugas di industri non kesehatan. Berbagai jenis pekerjaan yang digeluti apoteker inilah yang membedakan mereka dalam pembayaran pajak. Berikut perbedaan pembayaran pajak apoteker sesuai dengan tugas dan tanggung jawab mereka mendapatkan penghasilan.
Hak Apoteker dalam Konteks Pajak
Seorang apoteker dalam konteks pajak adalah pihak yang adalah wajib pajak dan punya hak yang sama bagi hukum pajak. Hak para apoteker dijamin dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan yang jika diuraikan sebagai berikut:
- Apoteker yang adalah wajib pajak berhak atas pembetulan surat pemberitahuan (SPT) selama belum diverifikasi dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak, pemeriksaan, maupun pemeriksaan bukti permulaan.
- Jika ada pemeriksaan, seorang apoteker berhak untuk:
- Meminta surat perintah pemeriksaan.
- Melihat tanda pengenal pihak pemeriksa.
- Memperoleh penjelasan tentang tujuan serta maksud pemeriksaan.
- Memperoleh rincian perbedaan perhitungan, selisih, yang tertera dalam surat pemberitahuan dan hasil pemeriksaan oleh pihak pemeriksa.
- Hadir ketika ada pembahasan akhir dari hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang sudah ditentukan.
- Apoteker yang adalah wajib pajak berhak mengajukan upaya hukum seperti keberatan, banding, dan peninjauan kembali.
- Berhak untuk mendapat jaminan kerahasiaan data sebagai wajib pajak berupa:
- Data SPT, dokumen penunjang, dan laporan keuangan.
- Data dari pihak lain berkaitan dengan pekerjaan yang sifatnya rahasia.
- Dokumen lain yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
- Berhak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Hal ini berlaku untuk apoteker yang sebagai pemilik sarana apotek dan sedang kesulitan dalam hal likuiditas atau pada situasi sulit sehingga tidak bisa memenuhi atau melunasi pajak sesuai dengan jangka waktu yang sudah ditentukan.
- Berhak untuk mengurangi PPh Pasal 25 jika Apoteker tersebut menunjukan PPh yang akan terutang pada tahun pajak kurang dari 75% dari PPh terutang sehingga menjadi dasar penghitungan nilai PPh Pasal 25.
- Berhak untuk mendapat pengurangan PBB dengan kondisi tertentu, antara Objek Pajak yang berkaitan dengan Apoteker misalnya kerugian atau kesulitan likuiditas, bencana alam, atau sebab lainnya yang sifatnya luar biasa.
- Berhak untuk mendapat pengembalian kembalian pembayaran pajak jika jumlah kredit pajak yang terbayar lebih besar ketimbang jumlah pajak yang terutang.
- Berhak untuk mendapat insentif pajak yang diberikan pemerintah.
Kewajiban Apoteker dalam Lingkup Pajak
Individu yang adalah seorang apoteker memiliki kewajiban pajak yang harus mereka penuhi dan berikut deskripsi kewajiban apoteker dalam konteks perpajakan:
- Mendaftar untuk mendapat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) jika apoteker tersebut memenuhi syarat subjektif dan objektif.
- Apoteker dengan peredaran bruto > Rp 4,8 miliar harus melaporkan usahanya agar dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
- Seorang apoteker yang adalah wajib pajak yang memiliki usaha apotek atau jual beli obat harus menggelar kewajiban pajak dengan self assessment. Meliputi penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak penghasilan yang terutang sekaligus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terutang.
- Apoteker yang berstatus wajib pajak harus memenuhi kewajiban ketika ada proses pemeriksaan, seperti:
- Memenuhi panggilan pemeriksaan.
- Mengizinkan pihak pemeriksa untuk melihat atau meminjam buku, catatan, dan dokumen penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau hal-hal yang terkait objek pajak terutang.
- Mengizinkan pemeriksa untuk memasuki ruang yang menunjang kelancaran pemeriksaan.
- Apoteker wajib menyampaikan tanggapan tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
- Memberi keterangan lain yang pemeriksa minta.
Perlakuan Pajak
Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyatakan bahwa objek pajak penghasilan meliputi semua penghasilan, yakni setiap tambahan pendapatan ekonomis yang diperoleh setiap wajib pajak tidak terkecuali apoteker. Tambahan pendapatan yang dimaksud berlaku dari manapun, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. Selama pendapatan tersebut bisa dikonsumsi dan menambah aset kekayaan apoteker.
Pajak Penghasilan Apotek sebagai Pegawai Tetap
Jika peran apoteker adalah seorang pegawai tetap dengan dibuktikan adanya kontrak kerja, maka pendapatan apoteker tersebut akan dipotong pajak penghasilan PPh Pasal 21. Penghitungan PPh Pasal 21 merujuk dengan PP 58/2023 yang telah berlaku sejak 1 Januari 2024.
Adapun beberapa kategori dalam penghitungannya, karena merujuk pada kategori tarif rata-rata (TER) yang akan digunakan. Kategori itu dilihat dari status PTKP dan penghasilan bruto setiap pegawai. Berikut penggolongan kategori yang dimaksud:
Kategori A
s/d Rp 5.400.000 | 0% |
Rp 5.400.001 s/d Rp 5.600.000 | 0.25% |
Rp 5.600.000 s/d Rp 5.950.000 | 0.5% |
Rp 5.950.001 s/d Rp 6.300.000 | 0.75% |
Rp 6.300.001 s/d Rp 6.750.000 | 1% |
Rp 6.750.001 s/d Rp 7.500.000 | 1.25% |
Rp 7.500.001 s/d Rp 8.550.000 | 1.5% |
Rp 8.550.001 s/d Rp 9.650.000 | 1.75% |
Rp 9.650.000 s/d Rp 10.050.000 | 2% |
Rp 10.050.001 s/d Rp 10.350.000 | 2.25% |
Rp 10.350.001 s/d Rp 10.700.000 | 2.5% |
Rp 10.700.001 s/d Rp 11.050.000 | 3% |
Rp 11.050.001 s/d Rp 11.600.000 | 3.5% |
Rp 11.600.001 s/d Rp 12.500.000 | 4% |
Rp 12.500.001 s/d Rp 13.750.000 | 5% |
Rp 13.750.001 s/d Rp 15.100.000 | 6% |
Rp 15.100.001 s/d Rp 16.950.000 | 7% |
Rp 16.950.001 s/d Rp 19.750.000 | 8% |
Rp 19.750.001 s/d Rp 24.150.000 | 9% |
Rp 24.150.001 s/d Rp 26.450.000 | 10% |
Rp 26.450.001 s/d Rp 28.000.000 | 11% |
Rp 28.000.001 s/d Rp 30.050.000 | 12% |
Rp 30.050.001 s/d Rp 32.400.000 | 13% |
Rp 32.400.000 s/d Rp 35.400.000 | 14% |
Rp 35.400.001 s/d Rp 39.100.000 | 15% |
Rp 39.100.001 s/d Rp 43.850.000 | 16% |
Rp 43.850.001 s/d Rp 47.800.000 | 17% |
Rp 47.800.001 s/d Rp 51.400.000 | 18% |
Rp 51.400.001 s/d Rp 56.300.000 | 19% |
Rp 56.300.001 s/d Rp 62.200.000 | 20% |
Rp 62.200.001 s/d Rp 68.600.000 | 21% |
Rp 68.600.001 s/d Rp 77.500.000 | 22% |
Rp 77.500.001 s/d Rp 89.000.000 | 23% |
Rp 89.000.001 s/d Rp 103.000.000 | 24% |
Rp 103.000.001 s/d Rp 125.000.000 | 25% |
Rp 125.000.001 s/d Rp 157.000.000 | 26% |
Rp 157.000.001 s/d Rp 206.000.000 | 27% |
Rp 206.000.001 s/d. Rp 337.000.000 | 28% |
Rp 337.000.001 s/d Rp 454.000.000 | 29% |
Rp 454.000.001 s/d Rp 550.000.000 | 30% |
Rp 550.000.001 s/d Rp 695.000.000 | 31% |
Rp 695.000.001 s/d Rp 910.000.000 | 32% |
Rp 910.000.001 s/d Rp 1.400.000.000 | 33% |
lebih dari Rp 1.400.000.000 | 34% |
Kategori B
sampai dengan Rp 6.200.000 | 0% |
> Rp 6.200.000 s/d Rp 6.500.000 | 0.25% |
Rp 6.500.001 s/d Rp 6.850.000 | 0.5% |
Rp 6.850.001 s/d Rp 7.300.000 | 0.75% |
Rp 7.300.001 s/d Rp 9.200.000 | 1% |
Rp 9.200.001 s/d Rp 10.750.000 | 1.5% |
Rp 10.750.001 s/d Rp 11.250.000 | 2% |
Rp 11.250.001 s/d Rp 11.600.000 | 2.5% |
Rp 11.600.001 s/d Rp 12.600.000 | 3% |
Rp 12.600.001 s/d Rp 13.600.000 | 4% |
Rp 13.600.001 s/d Rp 14.950.000 | 5% |
Rp 14.950.001 s/d Rp 16.400.000 | 6% |
Rp 16.400.001 s/d Rp 18.450.000 | 7% |
Rp 18.450.001 s/d Rp 21.850.000 | 8% |
Rp 21.850.001 s/d Rp 26.000.000 | 9% |
Rp 26.000.001 s/d Rp 27.700.000 | 10% |
Rp 27.700.001 s/d Rp 29.350.000 | 11% |
Rp 29.350.001 s/d Rp 31.450.000 | 12% |
Rp 31.450.001 s/d Rp 33.950.000 | 13% |
Rp 33.950.001 s/d Rp 37.100.000 | 14% |
Rp 37.100.001 s/d Rp 41.100.000 | 15% |
Rp 41.100.001 s/d Rp 45.800.000 | 16% |
Rp 45.800.001 s/d Rp 49.500.000 | 17% |
Rp 49.500.001 s/d Rp 53.800.000 | 18% |
Rp 53.800.001 s/d Rp 58.500.000 | 19% |
Rp 58.500.001 s/d Rp 64.000.000 | 20% |
Rp 64.000.001 s/d Rp 71.000.000 | 21% |
Rp 71.000.001 s/d Rp 80.000.000 | 22% |
Rp 80.000.001 s/d Rp 93.000.000 | 23% |
Rp 93.000.001 s/d Rp 109.000.000 | 24% |
Rp 109.000.001 s/d Rp 129.000.000 | 25% |
Rp 129.000.001 s/d Rp 163.000.000 | 26% |
Rp 163.000.000 s/d Rp 211.000.000 | 27% |
Rp 211.000.001 s/d Rp 374.000.000 | 28% |
Rp 374.000.001 s/d Rp 459.000.000 | 29% |
Rp 459.000.001 s/d Rp 555.000.000 | 30% |
Rp 555.000.000 s/d Rp 704.000.000 | 31% |
Rp 704.000.001 s/d Rp 957.000.000 | 32% |
Rp 957.000.001 s/d Rp 1.405.000.000 | 33% |
> Rp 1.405.000.000 | 34% |
Kategori C
Sampai dengan Rp 600.000 | 0% |
Rp 600.001 s/d Rp 6.950.000 | 0.25% |
Rp 6.950.001 s/d Rp 7.350.000 | 0.5% |
Rp 7.350.001 s/d Rp 7.800.000 | 0.75% |
Rp 7.800.001 s/d Rp 8.850.000 | 1% |
Rp 8.850.001 s/d Rp 9.800.000 | 1.25% |
Rp 9.800.001 s/d Rp 10.950.000 | 1.5% |
Rp 10.950.001 s/d Rp 11.200.000 | 1.75% |
Rp 11.200.001 s/d Rp 12.500.000 | 2% |
Rp 12.500.001 s/d Rp 12.950.000 | 3% |
Rp 12.950.001 s/d Rp 14.150.000 | 4% |
Rp 14.150.000 s/d Rp 15.550.000 | 5% |
Rp 15.550.001 s/d Rp 17.050.000 | 6% |
Rp 17.050.001 s/d Rp 19.500.000 | 7% |
Rp 19.500.001 s/d Rp 22.700.000 | 8% |
Rp 22.700.001 s/d Rp 26.600.000 | 9% |
Rp 26.600.001 s/d Rp 28.100.000 | 10% |
Rp 28.100.001 s/d Rp 30.100.000 | 11% |
Rp 30.100.000 s/d Rp 32.600.000 | 12% |
Rp 32.600.001 s/d Rp 35.400.000 | 13% |
Rp 35.400.001 s/d Rp 38.900.000 | 14% |
Rp 38.900.001 s/d Rp 43.000.000 | 15% |
Rp 43.000.001 s/d Rp 47.400.000 | 16% |
Rp 47.400.001 s/d Rp 51.200.000 | 17% |
Rp 51.200.001 s/d Rp 55.800.000 | 18% |
Rp 55.800.001 s/d Rp 60.400.000 | 19% |
Rp 60.400.001 s/d Rp 66.700.000 | 20% |
Rp 66.700.001 s/d Rp 74.500.000 | 21% |
Rp 74.500.001 s/d Rp 83.200.000 | 22% |
Rp 83.200.001 s/d Rp 95.600.000 | 23% |
Rp 95.600.001 s/d Rp 110.000.000 | 24% |
Rp 110.000.000 s/d Rp 134.000.000 | 25% |
Rp 134.000.001 s/d Rp 169.000.000 | 26% |
Rp 169.000.001 s/d Rp 221.000.000 | 27% |
Rp 221.000.001 s/d Rp 390.000.000 | 28% |
Rp 390.000.001 s/d Rp 463.000.000 | 29% |
Rp 463.000.001 s/d Rp 561.000.000 | 30% |
Rp 561.000.001 s/d Rp 709.000.000 | 31% |
Rp 709.000.001 s/d Rp 965.00.000 | 32% |
Rp 965.000.001 s/d Rp 1.419.000.000 | 33% |
> Rp 1.419.000.000 | 34% |
Setelah itu, ketika Apoteker menghitung PPh 21 bulanan, dikalikan penghasilan bruto dengan tarif yang seturut dengan kategori. Berikut cara menghitung PPh 21 bulanan apoteker dengan status pegawai periode bulan Januari-November:
PPh Pasal 21 = penghasilan Bruto x Tarif efektif berdasarkan kategori |
Sementara itu higungan PPh 21 bulan Desember adalah dengan menghitung pajak terutang dalam satu tahun periode pajak dengan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, dengan pemaparan cara berikut ini:
PPh Pasal 21 = (Penghasilan netto setahun – PTKP) x tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a |
Jika sudah mengetahui pajak yag teruang dalam satu tahun periode pajak, kemudian cara selanjutnya adalah mengetahui angka PPh Pasal 21 bulan Desember dengan cara:
PPh Pasal 21 Desember = PPh 21 seetahun – (Jumlah pajak PPh 21 yang dipotong Januari – November) |
Seturut dengan PER-2/PJ/2021, pihak pemberi kerja tak hanya pemotongan PPh Pasal 21, tapi wajib untuk membuat bukti potong atas PPh Pasal 21 kepada apoteker dalam satu tahun periode pajak.
Selain itu, pemberi kerja diharuskan memberikan SPT Tahunan kepada apoteker pada akhir tahun berjalan. SPT Tahunan tersebut selanjutnya harus dilaporkan oleh apoteker melalui laman DJP Online maksimal 3 bulan setelah tahun pajak berakhir.
Pajak Penghasilan Apoteker Sebagai Pemilik Apotek
Menurut PMK 164/2023 apoteker yang berpenghasilan kotor < Rp 4,8 miliar per tahun periode pajak, bisa dikenai PPh Final dengan tarif 0,5%. Tarif tersebut dikenakan karena adanya jumlah peredaran bruto tiap bulan. Peredaran bruto termasuk imbalan atau nilai pengganti dalam rupa uang yang didapatkan dari usaha sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, atau sejenisnya.
Apotik yang peredaran brutonya mencapai rp 500.000.000 dalam satu tahun periode pajak tidak akan dikenai Pajak Penghasilan. Jika Apotek Anda peredaran brutonya melebihi Rp 500.000.000 juta per tahun maka harus mengikuti tata cara perhitungan PPh Final dengan rumus sebagai berikut:
PPh final = 0,5% x Penghasilan Bruto |
Jika apoteker menerima penghasilan kotor > Rp 4,8 miliar rupiah per tahun dan apoteker tersebut memilih metode pembukuan akan dikenakan PPh terutang yang selaras dengan tarif Pasal 17 UU PPh.
Jika Anda ingin menghitung pajak penghasilan atas kegiatan usaha apoteker dengan pembukuan, pertama-tama Anda harus menghitung penghasilan neto dengan perhitungan sebagai berikut:
Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto – Biaya Usaha |
Terdapat biaya usaha yang dimaksud meliputi semua biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Setelah memperoleh penghasilan neto, selanjutnya menghitung Penghasilan kena Pajak (PKP) dengan perhitungan sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto – PTKP |
Setelah itu, bagian terakhir dari penghitungan ini adalah menghitung PPh 21 terutang dengan tarif Pasal 17 ayat (1) dengan rumus:
Pajak terutang = PKP x Tarif pasal 17 ayat (1) |
Pajak Pertambahan Nilai yang Dikenakan Pada Apoteker
Apoteker yang menerima penghasilan kotor > Rp 4,8 miliar rupiah per tahun atau yang telah dikukuhkan sebagai PKP ada kewajiban untuk memenuhi pemungutan PPN. Biaya PPn yang berlaku per 1 April adalah 11% dari nilai penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Cara penghitungan PPN adalah:
PPN = 11% X Dasar pengenaan pajak |
PKP yang sudah memungut harus menyetorkan PPN tersebut ke Dirjen Pajak sebagai kas negara.