Mendirikan usaha jasa seperti Event Organizer (EO) atau yang sering disebut dengan penyelenggara acara, memang menjanjikan peluang bisnis yang besar, namun usaha ini juga tidak terlepas dari kewajiban perpajakan yang harus dipatuhi. Sebagai badan usaha yang bergerak di bidang jasa, EO wajib mematuhi aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, termasuk pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan pajak-pajak lainnya yang terkait dengan transaksi bisnis. Setiap layanan yang diberikan oleh EO, seperti perencanaan acara, penyediaan tempat, penyewaan perlengkapan, atau jasa pengaturan lainnya, akan dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, sebagai penyelenggara acara, EO juga harus memastikan bahwa seluruh kegiatan yang mereka kelola, baik itu untuk klien individu maupun perusahaan, sudah memenuhi persyaratan administrasi perpajakan, termasuk penerbitan faktur pajak yang sah jika diperlukan. Dalam hal ini, EO harus terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika omset mereka memenuhi ambang batas yang ditentukan oleh pemerintah. Pengusaha yang terdaftar sebagai PKP akan dikenakan kewajiban untuk memungut dan menyetor PPN atas barang dan jasa yang dijual kepada klien.
Dengan demikian, meskipun usaha EO berfokus pada kreativitas dan penyelenggaraan acara, pemilik usaha juga harus memahami dan menjalankan kewajiban perpajakan yang berlaku untuk menghindari sanksi atau masalah hukum di kemudian hari. Pemahaman yang baik tentang perpajakan akan membantu EO dalam merencanakan dan mengelola keuangan usaha mereka dengan lebih baik, serta memastikan kelancaran operasional dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.
Pajak Yang Berlaku Untuk EO
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh EO, yang dikenakan atas penghasilan yang diterima dari kegiatan usaha mereka. Jika EO berbentuk badan usaha, seperti PT atau CV, maka yang dikenakan adalah PPh Badan, sedangkan jika dijalankan oleh perseorangan, maka dikenakan PPh Orang Pribadi. Pasal 17 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan mengatur mengenai tarif PPh bagi badan usaha maupun individu. Selain itu, Pasal 25 mengharuskan pengusaha untuk menyetor dan melaporkan pajak penghasilan secara berkala.
Selain itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga menjadi kewajiban penting bagi EO yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dikenakan pada transaksi barang dan jasa yang disediakan oleh EO, seperti sewa tempat, catering, dan perlengkapan acara lainnya. Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pasal 4A menjelaskan objek PPN yang mencakup jasa yang diberikan oleh EO, sementara Pasal 17 mengatur kewajiban PKP untuk memungut dan menyetor PPN.
EO yang menyewakan barang atau tempat untuk acara juga akan dikenakan Pajak Penghasilan atas Sewa (PPh 4 ayat 2). Pajak ini dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dari kegiatan sewa tempat atau barang yang digunakan dalam acara. Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 15 Undang-Undang PPh mengatur tentang tarif PPh yang dikenakan, yang sebesar 10% dari penghasilan bruto yang diperoleh dari sewa tersebut.
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Karyawan (PPh 21) juga menjadi kewajiban EO jika mereka mempekerjakan karyawan atau tenaga lepas. EO wajib memotong PPh 21 dari penghasilan yang diterima oleh karyawan dan menyetorkan pajak tersebut kepada pihak yang berwenang. Pasal 21 Undang-Undang PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh karyawan, dan Pasal 25 mengharuskan pengusaha untuk menyetor PPh 21 yang telah dipotong.
Selain pajak nasional, beberapa daerah di Indonesia juga menerapkan Pajak Daerah dan Retribusi yang relevan dengan kegiatan yang dilakukan oleh EO. Pajak daerah seperti pajak hiburan atau retribusi izin usaha bisa dikenakan tergantung pada jenis acara dan lokasi tempat acara tersebut diadakan. Hal ini diatur melalui Peraturan Daerah yang berlaku di setiap wilayah.
Terakhir, setiap transaksi yang melibatkan PPN oleh EO wajib membuat Faktur Pajak. Faktur ini berfungsi sebagai bukti pemungutan PPN dan untuk mencatat transaksi yang terjadi. Pasal 13 Undang-Undang PPN mengatur kewajiban pembuatan faktur pajak, dan ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tata cara pembuatan dan pengisian faktur pajak.
Dengan memahami berbagai jenis pajak yang berlaku, EO dapat mengelola kewajiban perpajakan mereka secara tepat, menghindari potensi masalah hukum, serta memastikan bahwa usaha mereka beroperasi sesuai dengan peraturan yang ada.
CONTOH PERHITUNGAN
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh sebuah Event Organizer (EO), berikut ini adalah contoh perhitungan pajak yang dapat dikenakan dalam situasi nyata, berdasarkan jenis pajak yang relevan.
Contoh Kasus:
Misalkan sebuah Event Organizer (EO) mengadakan sebuah acara pernikahan yang mencakup sewa tempat, catering, dekorasi, dan pengelolaan acara. Biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut adalah sebagai berikut:
- Sewa tempat acara: Rp 50.000.000
- Catering untuk 200 orang: Rp 40.000.000
- Dekorasi: Rp 10.000.000
- Biaya lainnya (misalnya MC, sound system, dll.): Rp 20.000.000
Total biaya untuk acara:
Rp 50.000.000 + Rp 40.000.000 + Rp 10.000.000 + Rp 20.000.000 = Rp 120.000.000
Total biaya ini akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena EO yang mengadakan acara tersebut terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Langkah 1: Menghitung PPN yang dikenakan
Berdasarkan Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009, tarif PPN yang berlaku sekarang adalah 11% dari nilai transaksi.
PPN atas biaya sewa tempat:
PPN = 11% x Rp 50.000.000 = Rp 5.500.000
PPN atas biaya catering:
PPN = 11% x Rp 40.000.000 = Rp 4.400.000
PPN atas biaya dekorasi:
PPN = 11% x Rp 10.000.000 = Rp 1.100.000
PPN atas biaya lainnya:
PPN = 11% x Rp 20.000.000 = Rp 2.200.000
Langkah 2: Menjumlahkan PPN yang harus dipungut
Total PPN yang harus dipungut oleh EO dari klien adalah:
- Rp 5.500.000 + Rp 4.400.000 + Rp 1.100.000 + Rp 2.200.000 = Rp 13.200.000
Langkah 3: Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 (PPh Karyawan)
Misalnya, EO juga mempekerjakan 5 orang karyawan untuk membantu dalam acara tersebut, dengan penghasilan masing-masing Rp 5.000.000. Maka, PPh 21 yang harus dipotong dan disetor oleh EO untuk penghasilan karyawan dapat dihitung dengan tarif yang sesuai dengan ketentuan PPh Pasal 21.
Asumsi tarif PPh Pasal 21 adalah 5% untuk penghasilan di bawah Rp 50.000.000 per tahun.
PPh 21 yang harus dipotong per karyawan:
5% x Rp 5.000.000 = Rp 250.000
Untuk 5 karyawan, total PPh 21 yang harus dipotong adalah:
Rp 250.000 x 5 = Rp 1.250.000
Langkah 4: Menghitung Pajak Penghasilan atas Sewa (PPh 4 ayat 2)
EO juga memperoleh penghasilan dari sewa tempat. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, pajak ini dikenakan 10% dari penghasilan bruto yang diperoleh dari sewa tempat.
PPh 4 ayat 2 yang dikenakan atas penghasilan sewa tempat (Rp 50.000.000):
10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000
Rekapitulasi Pajak yang Dikenakan:
- PPN yang harus dipungut:
- Rp 13.200.000
- PPh Pasal 21 (Karyawan):
- Rp 1.250.000
- PPh Pasal 4 ayat 2 (Sewa tempat):
- Rp 5.000.000
Also, Read – PERPANJANGAN TAX HOLIDAY SAMPAI AKHIR BULAN 2025
Total Kewajiban Pajak yang Harus Dibayar EO:
- Pajak yang dipungut (PPN): Rp 13.200.000 (harus disetor kepada negara)
- PPh yang dipotong untuk karyawan: Rp 1.250.000 (disetor kepada negara)
- PPh atas sewa: Rp 5.000.000 (disetor kepada negara)
Dalam contoh ini, EO akan mengumpulkan dan menyetor pajak yang dipungut atas transaksi PPN, serta memotong dan menyetor PPh yang berkaitan dengan penghasilan karyawan dan penghasilan dari sewa tempat. Pemenuhan kewajiban pajak ini penting untuk memastikan bahwa usaha EO berjalan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.