RCM PADA PPH

CaptainBiz: RCM PADA PPH

Kebutuhan tenaga ahli di Indonesia semakin bertambah seiring dengan teknologi-teknologi yang terbarukan. Berdasarkan data dari kementerian ketenagakerjaan terdapat 168 ribu tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia sepanjang tahun 2023. Mayoritas tenaga kerja berasal dari negara China, Jepang, Korea Selatan, India, Malaysia, dan lainnya. Jenis TKA yang datang ke Indonesia kebanyakan bekerja pada sektor Jasa, Industri, dan Pertanian dan maritim. Jabatan untuk para TKA ini mencakup dari konsultan, manajer, direksi, dan komisaris.

Namun, sudah tahukah kalian bila melakukan sebuah transaksi internasional terdapat pajak didalamnya? Pajak tersebut adalah pajak RCM (reverse charge mechanism). Suatu pajak dengan sistem pembeli jasa atau barang bertanggung jawab untuk membayar atau memotong pajak penghasilan yang seharusnya dibayarkan oleh penjual atau penyedia jasa. Mekanisme ini memiliki tujuan untuk memindahkan tanggung jawab pemungutan dan pembayaran pajak baik pph ataupun ppn berpindah dari penjual ke pembeli.

Pajak RCM sering digunakan untuk transaksi dimana sang penyedia jasa atau barang tidak berada di Indonesia serta tidak memiliki kewajiban pajak di Indonesia. Sehingga beban pajak yang berlaku dilimpahkan kepada pembeli yang berada di kawasan Indonesia.

Penerapan PPh RCM di Indonesia

Tenaga ahli yang masuk ke Indonesia dengan tujuan sebagai jasa konsultasi sebuah perusahaan, akan dikenakan pajak PPH RCM. pajak ini dikenakan karena pembelian sebuah jasa dari sebuah perusahaan Indonesia terhadap perusahaan asing. Pengenaan pajak akan dilimpahkan kepada perusahaan yang menyewa jasa konsultan tersebut. Pajak yang harus dibayarkan dan dilaporkan disesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku sekarang. 

UNDANG-UNDANG TENTANG PPh RCM

Dalam pelaksanaan mekanisme PPh RCM di Indonesia, sudah diatur sebagaimana mestinya di UU perpajakan. Undang-undang No.7 tahun 2021 tentang harmonisasi Peraturan perpajakan (UU HPP) membuat sedikit perubahan terkait pajak penghasilan. Pada dasarnya tidak banyak undang undang yang berkaitan langsung terhadap mekanisme ini. Namun, prinsip perpajakan RCM dapat ditemukan di dalam ketentuan hukum sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh): Undang-undang ini mengatur objek pajak, subjek pajak, serta ketentuan pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan. Prinsip-prinsip terkait RCM dapat ditemukan di sini, terutama dalam konteks pemotongan PPh Pasal 26 untuk transaksi dengan pihak luar negeri.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan:Peraturan ini memberikan penjelasan lebih lanjut tentang penghitungan pajak penghasilan, termasuk kewajiban pemotongan pajak oleh pembeli dalam transaksi tertentu.
  3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) PMK yang relevan mengatur lebih detail tentang mekanisme pelaporan dan penyetoran PPh yang menggunakan RCM. Salah satu contohnya adalah PMK tentang pemotongan PPh atas penghasilan dari transaksi luar negeri.
  4. Surat Edaran dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Surat edaran dan keputusan dari Ditjen Pajak memberikan panduan operasional mengenai pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak, termasuk mekanisme RCM.
  5. Peraturan Perpajakan Internasional Dalam konteks perpajakan internasional, aturan terkait pemotongan pajak penghasilan bagi subjek pajak luar negeri juga mengadopsi mekanisme RCM untuk memastikan kepatuhan dan penerimaan pajak.

Contoh penerapan aturan ini dalam konteks RCM adalah kewajiban perusahaan di Indonesia yang menerima jasa dari konsultan luar negeri untuk memotong dan menyetor PPh Pasal 26 atas jasa yang diterima. Untuk informasi lebih rinci dan spesifik, disarankan untuk merujuk langsung ke teks undang-undang dan peraturan terkait atau berkonsultasi dengan ahli perpajakan.

Tujuan ditetapkan PPh RCM

Peraturan PPh RCM ini dibuat dengan beberapa alasan. Seperti halnya pajak yang lain tentu ini semua guna untuk meningkatkan penghasilan negara. Tetapi dengan adanya peraturan yang dibuat, akan mempermudah dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Berikut tujuan utama dari dibuatnya peraturan tersebut:

  1. Memastikan Kepatuhan Pajak dalam Transaksi Internasional Membantu otoritas pajak dalam mengumpulkan pajak penghasilan dari transaksi internasional, terutama ketika penjual atau penyedia jasa berada di luar negeri dan sulit dijangkau oleh otoritas pajak domestik.
  2. Mengalihkan Tanggung Jawab Administrasi Pajak Memindahkan tanggung jawab pemungutan dan pembayaran pajak dari penjual atau penyedia jasa ke pembeli yang berada di dalam negeri, sehingga lebih mudah diawasi oleh otoritas pajak.
  3. Mencegah Penghindaran Pajak Mengurangi peluang bagi penjual atau penyedia jasa luar negeri untuk menghindari kewajiban pajak, dengan menjadikan pembeli di Indonesia yang bertanggung jawab atas pemotongan dan penyetoran pajak.
  4. Meningkatkan Penerimaan Pajak Memastikan pendapatan dari transaksi internasional tetap masuk ke kas negara, sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan.
  5.  Menyeimbangkan Kompetisi Menciptakan persaingan yang adil antara penyedia jasa dan barang domestik dan luar negeri dengan memastikan semua transaksi dikenakan pajak yang setara.

Dengan tujuan-tujuan ini, peraturan PPh RCM membantu menjaga integritas sistem perpajakan dan memastikan negara mendapatkan bagian yang adil dari pajak yang dihasilkan dari transaksi lintas batas.

APAKAH PPh RCM MENGUNTUNGKAN BAGI PELAKU USAHA?

Transaksi yang terjadi pada pelaku usaha dengan jasa dari luar negeri, memiliki keuntungan dan kerugian yang bervariasi terhadap peraturan PPh RCM. Ada sisi positif untuk para pelaku usaha dengan keringanan beban administrasi pajak, dan ada juga sisi negatif seperti halnya dampak arus kas dari perusahaan tersebut.

Sisi positif dari Penerapan sistem mekanisme PPh RCM bisa kita lihat sebagai berikut:

  1. Kepatuhan Pajak yang Lebih Tinggi: Dengan memindahkan tanggung jawab pemotongan dan pembayaran pajak kepada pembeli dalam negeri, PPh RCM dapat meningkatkan kepatuhan pajak karena pembeli memiliki kewajiban langsung dalam melaksanakannya. Ini membantu mengurangi peluang penghindaran pajak oleh pihak luar negeri.
  2. Transparansi Pajak yang Lebih Baik: Mekanisme ini memperkuat transparansi pajak dengan memudahkan otoritas pajak dalam memantau aliran pajak atas transaksi internasional. Hal ini memungkinkan pengawasan yang lebih efektif terhadap ketaatan pajak dan mengurangi peluang untuk praktik penghindaran atau penyimpangan pajak.
  3. Peningkatan Pendapatan Pajak: Dengan memastikan bahwa pajak yang seharusnya dipungut dari transaksi internasional tetap dibayarkan, PPh RCM dapat meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan bagi negara. Hal ini memberikan kontribusi positif terhadap pendapatan fiskal dan pembangunan negara.
  4. Mendorong Kesetaraan Kompetitif: PPh RCM membantu menciptakan level playing field bagi penyedia jasa dan barang domestik dan luar negeri dengan memastikan semua transaksi dikenakan pajak yang adil. Ini mendorong persaingan yang sehat di pasar dan melindungi pelaku usaha lokal dari praktik yang tidak adil.
  5. Kemudahan Administrasi Pajak: Bagi pelaku usaha, PPh RCM mengurangi beban administrasi pajak karena mereka tidak perlu lagi menangani pemotongan dan penyetoran pajak atas transaksi dengan pihak luar negeri. Tanggung jawab ini dialihkan kepada pembeli dalam negeri, sehingga memudahkan proses administrasi perpajakan.

Penerapan PPh RCM memiliki dampak positif yang signifikan dalam meningkatkan kepatuhan pajak, transparansi, pendapatan fiskal, kesetaraan kompetitif, dan kemudahan administrasi pajak.

Adapun sisi negatif dari pengimplementasian PPh RCM pada sebuah usaha. berikut adalah beberapa hal negatif dari mekanisme tersebut: 

  1. Beban Administrasi Tambahan: Meskipun PPh RCM dapat mengurangi beban administrasi pajak bagi beberapa pelaku usaha, bagi yang lain, hal ini dapat menyebabkan beban administrasi tambahan. Mereka perlu memastikan bahwa mereka memahami dan menerapkan dengan benar mekanisme pemotongan dan penyetoran pajak.
  2. Kesulitan dalam Implementasi: Implementasi PPh RCM dapat menjadi rumit, terutama bagi perusahaan yang tidak memiliki pengalaman atau sumber daya yang cukup untuk mengelolanya dengan baik. Ini dapat mengakibatkan kebingungan atau kesalahan dalam pemotongan dan penyetoran pajak.
  3. Potensi Konflik Hukum: PPh RCM mungkin dapat menyebabkan potensi konflik hukum antara negara asal dan negara tujuan transaksi. Ini terutama terjadi jika terdapat perbedaan dalam interpretasi atau penerapan aturan pajak antara kedua negara tersebut.
  4. Dampak pada Arus Kas: Bagi beberapa perusahaan, khususnya yang memiliki transaksi internasional dalam skala besar, penerapan PPh RCM dapat memiliki dampak pada arus kas. Mereka mungkin perlu menyesuaikan kebijakan keuangan dan perencanaan mereka untuk mengakomodasi kewajiban pajak yang muncul lebih awal dalam proses transaksi.
  5. Potensi Pengurangan Daya Saing: Bagi beberapa sektor atau perusahaan, penerapan PPh RCM dapat mengurangi daya saing mereka di pasar internasional. Ini terutama terjadi jika kebijakan pajak yang diterapkan lebih berat dibandingkan dengan negara pesaing mereka, yang dapat mengurangi margin keuntungan atau harga jual mereka.

Meskipun PPh RCM memiliki beberapa dampak negatif, penting untuk diingat bahwa dampak ini dapat dikelola dengan baik melalui pemahaman yang baik tentang aturan dan konsultasi dengan ahli perpajakan.

CONTOH KASUS PPh RCM

Sebagai contoh kasus penerapan PPh RCM, mari kita pertimbangkan sebuah situasi di mana sebuah perusahaan konstruksi di Indonesia menggunakan jasa konsultan teknik dari luar negeri untuk proyek pembangunan. Dalam skenario ini, langkah-langkah yang terlibat dalam penerapan PPh RCM adalah sebagai berikut:

  • Perusahaan konstruksi yang bertindak sebagai pembeli jasa konsultan teknik dari luar negeri harus menjalankan proses pemotongan PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, terutama PPh Pasal 26 atas penghasilan dari jasa teknik.
  • Setelah pemotongan dilakukan, perusahaan konstruksi wajib menyetor PPh yang telah dipotong ke otoritas pajak setempat sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
  • Selain itu, perusahaan konstruksi juga harus mengurus pelaporan pemotongan dan penyetoran PPh RCM kepada otoritas pajak, termasuk pengisian formulir dan penyampaian dokumen yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dengan penerapan PPh RCM dalam kasus ini, tanggung jawab pemotongan dan penyetoran pajak dipindahkan kepada perusahaan konstruksi sebagai pembeli jasa dari luar negeri. Ini membantu meningkatkan kepatuhan pajak dalam transaksi internasional dan memperkuat transparansi pajak. Selain itu, dengan pemotongan pajak dilakukan di tingkat pembeli dalam negeri, otoritas pajak dapat lebih mudah memantau aliran pajak dan memastikan kepatuhan pajak yang lebih baik secara keseluruhan.

PAJAK RCM SIAPA YANG HARUS BAYAR SEBENARNYA?

Berikut contoh penerapan PPh RCM (Reverse Charge Mechanism) di luar sektor konstruksi:

Contoh di Sektor Teknologi Informasi

Bayangkan sebuah perusahaan teknologi di Indonesia menggunakan layanan cloud computing dari penyedia luar negeri. Berikut langkah-langkah penerapan PPh RCM dalam situasi ini:

  • Pemotongan PPh oleh Pembeli

perusahaan tersebut perlu memotong PPh sesuai ketentuan yang berlaku, biasanya PPh Pasal 26, atas penghasilan yang diterima dari layanan tersebut.

  • Penyetoran PPh Setelah pemotongan,

Perusahaan harus menyetorkan PPh yang telah dipotong ke otoritas pajak sesuai jadwal yang ditetapkan.

  • Pelaporan

Perusahaan juga perlu melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh RCM kepada otoritas pajak, termasuk mengisi formulir dan menyampaikan dokumen yang diperlukan.

Analisa dampak pada penerapan PPh RCM dalam Kasus Ini

Dari kasus pembelian jasa dari sektor teknologi, di dapat beberapa dampak positif terhadap PPh RCM, diantaranya:

  • Kepatuhan Pajak yang Lebih Tinggi

Dengan memindahkan tanggung jawab pemotongan dan penyetoran pajak ke pembeli, kepatuhan pajak bisa meningkat karena perusahaan startup memiliki kewajiban langsung.

  • Transparansi Pajak yang Lebih Baik

Mekanisme ini memperkuat transparansi karena otoritas pajak lebih mudah memantau aliran pajak atas transaksi internasional, sehingga mengurangi peluang penghindaran pajak.

  • Kemudahan Administrasi bagi Penyedia Luar Negeri

Penyedia layanan cloud computing di luar negeri tidak perlu mengurus pemotongan dan penyetoran pajak di Indonesia, sehingga mereka bisa lebih fokus pada penyediaan layanan.

Adapun tantangan yang harus dilalui dalam penerapan PPh RCM ini yaitu:

  • Beban Administrasi Tambahan

Perusahaan harus memastikan mereka memahami dan menerapkan mekanisme pemotongan dan penyetoran pajak dengan benar, yang bisa menambah beban administrasi.

  • Kesulitan Implementasi

Perusahaan yang kurang berpengalaman atau tidak memiliki sumber daya yang cukup mungkin kesulitan mengelola pemotongan dan penyetoran pajak ini, yang bisa menyebabkan kebingungan atau kesalahan. Contoh ini menunjukkan bagaimana PPh RCM diterapkan dalam sektor teknologi informasi serta dampak positif dan tantangan yang mungkin dihadapi.

author avatar
Sapitri
I have experience working in the health sector as a medical equipment regulator, in the tax sector as a tax consultant, and in the administration sector as head of company administration.

Table of Contents

Tinggalkan Balasan