PAJAK RCM SIAPA YANG HARUS BAYAR SEBENARNYA?

Reverse Charge Mechanism (RCM) adalah suatu sistem perpajakan di mana tanggung jawab pemungutan dan pembayaran pajak dialihkan dari penjual atau penyedia jasa ke pembeli. Dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh), RCM sering digunakan dalam transaksi internasional atau transaksi tertentu di mana penjual atau penyedia jasa tidak berada dalam yurisdiksi pajak yang sama dengan pembeli.

Dalam RCM, pembeli mengambil peran aktif dalam proses pemungutan pajak dengan memotong dan membayar pajak yang seharusnya dibayarkan oleh penjual. Hal ini biasanya terjadi ketika penjual atau penyedia jasa tidak memiliki kewajiban pajak di negara pembeli atau ketika mereka berada di luar jangkauan otoritas pajak domestik.

Contoh penerapan RCM termasuk pembelian barang atau jasa dari luar negeri dan transaksi dengan pihak yang tidak memiliki kewajiban pajak di negara tersebut. Tujuan dari RCM adalah memastikan bahwa pajak dari transaksi internasional tetap dibayarkan secara tepat, meskipun penjual atau penyedia jasa berada di luar yurisdiksi pajak domestik.

Kenapa Harus Bayar Pajak RCM?

Membayar pajak melalui RCM adalah kewajiban yang harus dipatuhi untuk pelaku transaksi yang berada diluar kawasan yang terkena pajak. Semua ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan kita terhadap hukum pajak dan untuk mendukung keuangan negara agar dapat menyediakan program dan layanan publik yang diperlukan. Prinsip ini memastikan bahwa semua bisnis, baik lokal maupun internasional, mematuhi aturan yang sama dalam hal pembayaran pajak untuk menjaga keadilan.

Siapa Yang Harus Bayar Pajak?

Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam bisnis di luar negeri atau melakukan pembelian dari luar negeri diharuskan membayar pajak RCM. Perusahaan tersebut harus memotong dan membayar pajak penghasilan yang seharusnya dibayar oleh pihak luar negeri.

Perusahaan-perusahaan yang berkemungkinan terkena pajak RCM di Indonesia adalah perusahaan yang menggunakan jasa konsultan asing untuk proyek-proyek tertentu, perusahaan yang mengimpor barang dari luar negeri, dan perusahaan yang melakukan transaksi dengan pihak luar negeri untuk pengadaan barang atau jasa tertentu.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh) adalah beberapa jenis pajak yang sering terkena beban Reverse Charge Mechanism (RCM). Penerapan RCM dapat bervariasi tergantung pada yurisdiksi dan peraturan perpajakan yang berlaku di setiap negara. Oleh karena itu, disarankan untuk memeriksa undang-undang perpajakan yang relevan dalam suatu negara untuk mengetahui lebih lanjut tentang jenis-jenis pajak yang terkena beban RCM

Selain PPN, PPnBM, dan PPh, ada juga beberapa jenis pajak lain yang bisa terkena beban RCM tergantung pada kebijakan perpajakan di suatu negara, seperti:

  1. Pajak Penjualan

Di Beberapa negara pajak penjualan juga dapat dikenakan beban RCM, terutama untuk transaksi besar atau transaksi antar perusahaan.

  1. Pajak Layanan

Pajak layanan ini adalah pajak yang diberikan untuk beberapa layanan tertentu misal, pajak layanan profesional, dengan begitu dapat dikenakan beban RCM namun dalam beberapa situasi yang mendukung.

  1. Pajak Ekspor-Impor

Pada perdagangan Internasional seperti ekspor-impor RCM ini digunakan untuk memastikan pembayaran pajak yang tepat berdasarkan kategori barangnya.

  1. Pajak Tambahan

Pada beberapa negara penerapan RCM bertujuan untuk memastikan kepatuhan dalam pembayaran tersebut. Terutama untuk negara yang pajak spesifik untuk industri tertentu.

Dampak Yang Terjadi Saat Melakukan Transaksi Ekspor Dan Impor Dengan Penerapan Sistem Rcm

Penerapan Reverse Charge Mechanism (RCM) dalam konteks ekspor dan impor suatu barang dapat memiliki dampak yang signifikan. Berikut adalah beberapa dampak utama yang biasanya terjadi:

  1. Peningkatan Kepatuhan Perpajakan: RCM dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan dalam transaksi ekspor dan impor. Dengan memindahkan tanggung jawab pemotongan dan pembayaran pajak kepada pembeli dalam negeri, sistem ini mendorong pembeli untuk memastikan bahwa mereka mematuhi kewajiban perpajakan mereka. Ini membantu mengurangi peluang penghindaran pajak oleh pihak luar negeri dalam transaksi lintas batas.
  1. Dampak pada Arus Kas Perusahaan: Implementasi RCM dapat memiliki dampak pada arus kas perusahaan, terutama bagi eksportir dan importir yang harus menyesuaikan kebijakan keuangan mereka untuk mengakomodasi kewajiban pajak yang muncul lebih awal dalam proses transaksi. Hal ini dapat mempengaruhi likuiditas perusahaan dan strategi keuangan mereka.
  1. Kesulitan Administrasi: RCM dapat meningkatkan beban administrasi bagi eksportir dan importir, terutama dalam hal pemantauan dan pelaporan pajak. Mereka harus memastikan bahwa mereka memahami dan menerapkan dengan benar mekanisme pemotongan dan penyetoran pajak, yang bisa menjadi rumit terutama dalam konteks transaksi lintas batas.
  1. Dampak pada Harga Produk: Penerapan RCM dapat berdampak pada harga produk yang diekspor atau diimpor. Pembeli dalam negeri mungkin akan mempertimbangkan biaya tambahan yang terkait dengan pemotongan pajak dalam penetapan harga produk atau jasa yang dibeli dari luar negeri. Ini dapat mempengaruhi daya saing produk atau jasa tersebut di pasar domestik.
  1. Peningkatan Transparansi Pajak: Meskipun RCM mungkin meningkatkan beban administrasi, namun dampak positifnya adalah peningkatan transparansi pajak. Mekanisme ini memperkuat pemantauan otoritas pajak terhadap aliran pajak dalam transaksi ekspor dan impor, membantu mengurangi peluang untuk praktik penghindaran pajak atau penyimpangan pajak.

Secara keseluruhan, RCM memiliki dampak yang bermacam-macam pada transaksi ekspor dan impor. Selain dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan dan transparansi pajak, RCM juga dapat menimbulkan tantangan administratif dan dapat mempengaruhi harga produk atau jasa. Penting bagi perusahaan yang melakukan eksportir dan importir untuk memahami implikasi RCM. Kebutuhan perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan dalam kebijakan perpajakan juga diperlukan, untuk memastikan kepatuhan dan kelangsungan bisnis mereka.

Sanksi-Sanksi Perpajakan Rcm

Di Indonesia, sanksi untuk tidak membayar pajak, termasuk pajak yang terutang melalui Reverse Charge Mechanism (RCM), diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan. Berikut adalah beberapa detail mengenai sanksi tersebut yang terkait dengan undang-undang perpajakan di Indonesia:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP):
  • Pasal 13 UU KUP mengatur tentang denda administrasi pajak. Jika pembayaran pajak tidak dilakukan tepat waktu, maka denda administrasi dapat dikenakan sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang belum dibayar.
    • Pasal 16 UU KUP mengatur tentang bunga keterlambatan pembayaran pajak. Bunga ini dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang dan dapat dikenakan setiap bulan atau periode tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh):
  • Pasal 13 UU PPh mengatur tentang sanksi administrasi dalam hal keterlambatan pembayaran pajak. Jika pajak tidak dibayarkan tepat waktu, maka denda administrasi sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang belum dibayar dapat dikenakan.
    • Pasal 18 UU PPh memberikan ketentuan tentang pengenaan sanksi administrasi bagi pelanggaran peraturan perpajakan. Sanksi administrasi tersebut meliputi denda administrasi, bunga keterlambatan, dan penyitaan administrasi.
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyampaian, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23/26 oleh Penerima Jasa dan Penerima Royalti yang Bukan Wajib Pajak Penghasilan di Bidang Usaha atau Profesi:
  • Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tata cara penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan atas transaksi dengan penerima jasa atau royalti yang bukan wajib pajak di bidang usaha atau profesi, termasuk penerapan Reverse Charge Mechanism (RCM).
    • Penyetoran pajak yang tidak tepat waktu atau tidak dilakukan sesuai ketentuan dalam peraturan ini dapat mengakibatkan dikenakannya sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam UU KUP dan UU PPh.
  1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK):
  • PMK mengatur lebih lanjut tentang penerapan pajak, termasuk pelaksanaan Reverse Charge Mechanism (RCM) dalam transaksi tertentu.
    • Pelanggaran terhadap ketentuan dalam PMK juga dapat mengakibatkan dikenakannya sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam UU KUP dan UU PPh.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban pembayaran pajak yang diatur dalam RCM dapat mengakibatkan dikenakannya berbagai sanksi. Sanksi tersebut seperti denda administrasi, bunga keterlambatan, dan penyitaan administrasi, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perpajakan yang berlaku di Indonesia.

Berapakah Tarif Rcm Yang Harus Dibayarkan Oleh Penanggung Jawab Pajak?

Tarif harga dalam pembayaran RCM sudah di atur di Undang undang harmonisasi pajak no. 7 tahun 2021. Tarif tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang harus dibayarkan oleh suatu perusahaan terhadap transaksi yang mereka lakukan di Indonesia. Perbedaan yang signifikan adalah ketentuan siapa yang membayarkan pajak tersebut. Sehingga dengan PPN di Indonesia saat ini yaitu 11%, maka tarif yang sama untuk pembayaran PPN pun diserahkan oleh pihak yang bertanggung jawab untuk membayarnya.

Pengecualian

Berdasarkan peraturan perundang undangan keharmonisan perpajakan No.7 tahun 2021 tidak semua barang dikenakan pajak RCM, Barang barang yang tidak termasuk itu antara lain dengan kriteria sebagai berikut:

  • Transaksi dengan Subjek Pajak Tertentu, Kadang-kadang, transaksi yang melibatkan subjek pajak tertentu atau terjadi dalam sektor-sektor khusus tidak perlu mematuhi kewajiban RCM.
  • Nilai Transaksi di Bawah Ambang Batas, Beberapa yurisdiksi mungkin menetapkan ambang batas tertentu untuk nilai transaksi. Jika transaksi berada di bawah ambang batas ini, maka RCM mungkin tidak berlaku.
  • Pengecualian oleh Hukum, Hukum perpajakan seringkali menyediakan pengecualian khusus untuk jenis transaksi tertentu dari kewajiban RCM.
  • Transaksi dengan Entitas Non-Subjek Pajak, Jika transaksi melibatkan entitas atau subjek yang bukan subyek pajak, maka mungkin tidak ada kewajiban untuk membayar RCM.

Pengecualian-pengecualian ini dapat berbeda tergantung pada peraturan perpajakan yang berlaku di masing-masing negara. Di Indonesia sendiri peraturan pengecualian berpacu pada undang-undang dan regulasi perpajakan yang berlaku. Semua itu perlu dicermati untuk memahami pengecualian yang berlaku dalam konteks tertentu.

Contoh Kasus

Contoh Kasus Impor:

Seorang pengusaha dari negara A memesan barang dari pemasok di negara B. Ketika barang tersebut tiba di pelabuhan di negara A, otoritas bea cukai di sana menerapkan Reverse Charge Mechanism (RCM) untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, pengusaha dari negara A harus langsung membayar PPN kepada otoritas pajak di negaranya atas impor tersebut, dan tidak kepada pemasok di negara B. Dalam hal ini, tanggung jawab untuk melaporkan dan membayar PPN yang terkait dengan impor barang tersebut ditanggung oleh pengusaha dari negara A.

Contoh Kasus Ekspor:

Sebuah perusahaan dari negara A menjual produk kepada pelanggan di negara B. Menurut peraturan perpajakan di negara B, Reverse Charge Mechanism (RCM) diterapkan pada impor barang dari luar negeri. Karena itu, pelanggan dari negara B diwajibkan membayar PPN langsung kepada otoritas pajak di negaranya atas barang yang diimpor dari negara A. Dalam situasi ini, perusahaan dari negara A tidak perlu mengenakan PPN kepada pelanggan di negara B, karena tanggung jawab untuk membayar PPN ditempatkan langsung pada pelanggan di negara B.

Dalam kedua contoh tersebut, penerapan Reverse Charge Mechanism (RCM) bertujuan untuk memastikan bahwa PPN tetap terbayar dalam transaksi lintas batas. Hal ini membantu otoritas pajak dalam mengontrol aliran barang dan memastikan bahwa pajak yang seharusnya dibayar tetap terkumpul, sambil meminimalkan risiko penghindaran pajak yang mungkin terjadi.

Contoh Kasus RCM pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Seorang dealer mobil mewah di negara A menjual mobil mewah kepada seorang kolektor di negara B. Sesuai dengan hukum perpajakan di negara B, aturan Reverse Charge Mechanism (RCM) diterapkan pada impor mobil mewah dari luar negeri. Ini berarti bahwa kolektor di negara B harus membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) langsung kepada otoritas pajak di negaranya atas mobil mewah yang diimpor dari negara A.

Dalam situasi ini, dealer mobil di negara A tidak dikenakan PPnBM saat menjual mobil kepada kolektor di negara B. Sebagai gantinya, kolektor di negara B memiliki tanggung jawab untuk melaporkan dan membayar PPnBM kepada otoritas pajak setempat. Dengan menerapkan RCM pada PPnBM, negara B dapat memastikan bahwa pajak yang seharusnya dibayar atas impor mobil mewah tetap terkumpul, sambil meminimalkan risiko penghindaran pajak yang mungkin terjadi.

author avatar
Sapitri
I have experience working in the health sector as a medical equipment regulator, in the tax sector as a tax consultant, and in the administration sector as head of company administration.

Table of Contents

Tinggalkan Balasan